Jumat, 12 Desember 2014

Ayo kita ke masjid, nak !!


Untukmu anakku
taukah kamu nak?
perjalanan terjauh dan terberat bagi seorang lelaki adalah perjalanan ke mesjid
sebab banyak orang kaya tidak sanggup mangerjakannya
jangankan sehari lima waktu bahkan banyak pula yang seminggu sekalipun terlupa
tidak jarang pula seumur hidup tidak pernah singgah kesana

perjalan terjauh dan terberat adalah perjalanan ke mesjid
karena orang pintar dan pandai pun sering tidak mampu menemukannya
walaupun mereka mampu mencari ilmu hingga ke universitas Eropa ataupun ke Amerika
mudah melangkahkan kaki ke Jepang, Australi  dan Korea dengan semangat yang membara
namun ke masjid tetap saja perjalan yang tidak mampu mereka tempuh walau telah bertitle S3

perjalan terjauh dan terberat adalah perjalanan ke mesjid
karena para para pemuda yang kuat dan bertubuh sehat
yang mampu menaklukan puncak gunung Bromo dan Merapi pun
sering mengeluh ketika di ajak ke mesjid
Alasan mereka pun beragam
ada yang berkata sebentar lagi, ada yang berucap tidak nyaman di cap alim

perjalan terjauh dan terberat adalah perjalanan ke mesjid
maka berbahagialah dirimu wahai anakku
bila sejak kecil engkau telah terbiasa melangkahkan kaki ke mesjid
karena bagi kami, sejauh manapun engkau melangkahkan kaki
tidak ada perjalan yang paling kami banggakan selain perjalanmu ke mesjid

biar aku beritahu rahasia kepadamu
sejatinya perjalanmu ke mesjid
adalah perjalanan untuk menjumpai Rabb mu
itulah perjalanan yang diajarkan oleh Nabimu
serta perjalan yang akan membedakanmu dengan orang-orang yang lupa akan Rabb nya

perjalan terjauh dan terberat  itu adalah perjalanan ke mesjid
maka lakukanlah walaupun engkau harus merangkak dalam gelap subuh
demi mengenal Rabb mu...


source : 
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/06/09/perjalanan-terjauh-dan-terberat-657607.html

Kamis, 11 Desember 2014

Setelah Ajal Menjemput, Man Robbuka?, Sanggupkah Aku Menjawabnya ! (Tulisan Bebas)

SAHABATKU, MARILAH KITA SEJENAK MERENUNG ...


Sanggupkah aku menghadapi itu ? Saat di mana aku didudukkan di lubang yang gelap, kemudian datanglah kepada ku dua malaikat mengajukan pertanyaan: Siapa Rabb-mu, apa agamamu, dan siapa nabimu ?


Sanggupkah aku menjawabnya ?
orang tua atau kerabatku. Sungguh, saat itu tak mungkin kuduga sebagaimana juga mereka tak pernah menduga didatangi oleh nya. Sungguh dia akan menjemput aku pergi ke tempat yang tak mampu aku bayangkan, tempat yang tak pernah kembali lagi mereka yang pergi ke sana, tempat yang di sana aku akan dihadapkan dengan pertanyaan.

Sungguh, semua itu benar adanya. Tak ada alasan bagi ku untuk tidak percaya hal itu bakal terjadi, sebagaimana tak ada alasan bagi ku untuk mengingkari adanya Al Khaliq. Juga sebagaimana tak ada alasan bagi ku untuk memungkiri adanya getaran kegelisahan dalam bathinku tatkala aku melakukan perbuatan yang fitrahku mengenalnya sebagai dosa.

Hanya saja. Sanggupkah aku menghadapi itu ? Saat di mana aku didudukkan di lubang yang gelap, kemudian datanglah kepada ku dua malaikat mengajukan pertanyaan: Siapa Rabb-mu, apa agamamu, dan siapa nabimu ?
Sanggupkah aku menjawabnya ? …

Apa yang akan aku katakan, ketika ditanya tentang siapa Rabb-ku ? Cukupkah kujawab : Rabb-ku adalah ALLAH ? Semudah itukah menghadapi fitnah qubur ? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanamkan dalam jiwaku keyakinan akan adanya Engkau, tertanam pula keyakinan ,bahwa tidaklah segala sesuatu itu ada dan terjadi dengan sendirinya serta tanpa maksud dan tujuan.

Lantas bolehkah terlintas dalam benakku : “Mustahil aku akan tersesat dan terjatuh ke dalam kekufuran.” ? Bolehkah terucap lewat lisanku: “Keberhasilan yang aku peroleh adalah semata-mata hasil prestasiku.” ? Bolehkah aku beranggapan : “Bahwa tanda keridhoan-Mu adalah dengan terjadinya apa yang terjadi atau berlakunya apa yang hendak aku lakukan.” ?
Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Alangkah kejamnya Engkau, membiarkan seorang bayi lahir dalam keadaan cacat. Alangkah tak adilnya Engkau, membiarkan pelaku ma’shiyat sejahtera bermandikan kesenangan, sedangkan mereka yang tha’at dalam keadaan miskin berlumurkan kesengsaraan.” Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun, mengapa sering bathin ini protes manakala aku tertimpa musibah atau doaku tak kunjung terkabul?

Ya, ALLAH. Ternyata tak ada jalan untuk mengenal Mu kecuali melalui diri-Mu. Kalau bukan karena hidayah-Mu, sungguh akan tertanam dalam batinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku segala yang bertentangan dengan kekuasaan-Mu, bertentangan dengan hak-Mu untuk diibadahi, serta bertentangan dengan kemuliaan nama-nama dan sifat-sifat-Mu. Maka, sudahkah aku mengenal segala kekuasan-Mu dan mengakui keesaan-Mu dalam hal mencipta, memiliki, dan mengatur alam semesta ini?

Kemudian, apa yang akan aku katakan ketika ditanya tentang apa agamaku? Cukupkah kujawab: Agamaku Islam? Semudah itukah menghadapi fitnah qubur? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanam di dalam jiwaku keyakinan akan kesempurnaan agama ini, tertanam pula keyakinan bahwa agama ini disampaikan kepada manusia agar mereka memperoleh kemudahan dan kebahagiaan hidup di dunia – sebelum di akhirat kelak tentunya-.
Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: ”Agama ini tidak realistis, kurang membumi.” ? Bolehkah terucap lewat lisanku: “Jaman sekarang ini jangankan mencari yang halal, mencari yang haram saja susah.”? Bolehkah aku beranggapan: “Semua agama itu baik.” ?

Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Alangkah enaknya menjadi orang-orang kafir di muka bumi ini, alangkah kunonya agama ini, dan alangkah sempit serta terbatasnya ruang ibadah yang tersedia di sana.” Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun mengapa sering bathin ini protes manakala terasa dunia dan segala suguhannya tak memihak kepada ku? Mengapa bathin ini diam saja dan tak sedikitpun tergerak untuk membenci mereka yang menghujat agama ini?

Ya, ALLAH. Kalau bukan karena hidayah-Mu, sungguh akan tertanam di dalam bathinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku segala yang bertentangan dengan agama yang mulia ini. Bahkan boleh jadi aku tak mengenal agama ini sebagaimana ia diperkenalkan oleh pembawanya. Boleh jadi aku tak mengenal keseluruhan aturan yang ada di dalam nya. Dan boleh jadi aku telah terjatuh ke dalam perbuatan yang telah mengeluarkan aku dari nya.

Kemudian, apa yang akan aku katakan ketika ditanya tentang siapa nabiku? Cukupkah kujawab: Nabiku Muhammad ? Semudah itukah fitnah qubur ? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanam keyakinan dalam bathinku tentang kemuliaan akhlaqnya, sifat amanahnya, dan kejujurannya, tertanam pula keyakinan bahwa dialah ShallAllahu ‘Alaihi Wasallam teladan terbaik bagi umat manusia.

Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: “Ada jalan untuk mendekatkan diri kepada ALLAH Subhanahu Wa Ta’aala selain dari yang telah dicontohkan oleh beliau ShallAllahu ‘Alaihi Wasallam” ? Bolehkah terucap lewat lisanku: “Memelihara jenggot itu jorok, menjilat-jilati jari sehabis makan itu juga jorok, dan poligami itu jahat.” ? Bolehkah aku beranggapan: “Mengikuti Sunnahnya itu tidak wajib.” ?

Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Rasulullah ShallAllahu ‘Alaihi Wasallam lupa menyampaikan ini dan itu. Rasulullah ShallAllahu ‘Alaihi Wasallam sengaja menyembunyikan risalah, atau Rasulullah ShallAllahu ‘Alaihi Wasallam tidak mengetahui apa yang baik bagi umatnya. Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun mengapa sering bathin ini protes dan merasa berat dengan apa yang telah ia tetapkan dan contohkan ? Mengapa aqal dan hawa nafsu ini sering merasa lebih tahu -tentang baik dan buruk- ketimbang beliau ShallAllahu ‘Alaihi Wasallam ?

Ya, Allah. Kalau bukan karena hidayah-Mu, sungguh akan tertanam di dalam bathinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku berbagai pengingkaran terhadap kenabian dan kerasulan Muhammad ShallAllahu ‘Alaihi Wasallam. Boleh jadi itu bermula dari acuh tak acuhnya aku untuk mengenal nama-nama dan nasab beliau ShallAllahu ‘Alaihi Wasallam dan dari kurang minatnya aku membaca serta mempelajari riwayat hidupnya. Akhirnya butalah aku akan sunnah-sunnahnya dan tak mengertilah aku akan misi risalahnya. Dan jadilah aku orang yang hanya ikut-ikutan menyebut namanya tanpa memahami pertanggungjawabannya.
Sanggupkah aku menjawabnya ?…

Sungguh, aku akan berhadapan dengan pertanyaan yang jawabnya tak cukup di lisan, tetapi dari dalam keyakinan dan dibuktikan oleh perbuatan. Bukan hasil dari menghafal, tetapi dari beramal.Tak ada yang sanggup menuntun aku untuk menjawabnya kelak kecuali Engkau, Ya Allah. Aku tahu itu dan aku yakin, sebagaimana telah Engkau janjikan

Minggu, 23 November 2014

REVIEW FILM "SANG MURABBI"

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZtaayjVH89aackypmjP37RvSreFA2fMAL9ww4pJj9zggY0lilC2_oh-UkZh8S6zinEW3PEzaPVECngBZ2H6KNJoebrmS8YfjhLT3Q8RpmdovkEusBCGzdZcvZUl6ol8Nrq8hQfaxarN8/s1600/sang-murabbi.jpgFilm ini berkisah tentang perjalanan dakwah Ustadz Rahmat Abdullah. Berawal dari persepsi positif Ustadz Rahmat muda tentang profesi guru, yang merupakan rekfleksi cita-citanya saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Setiap kali ditanya orang, apa cita-citanya, ia akan menjawab dengan mantap: menjadi guru!

Persepsi itu kemudian menjadi elan vital yang menggerakkan seluruh energi hidup Ustadz Rahmat, ketika ia menimba ilmu di pesantren Asy Syafiiyah di bawah asuhan KH Abdullah Syafii. Bakat besar dan pemikirannya yang brilian, menjadikan Ustadz Rahmat dikagumi oleh setiap orang, terutama gurunya, KH Abdullah Syafii, yang menjadikan Ustad Rahmat muda sebagai murid kesayangannya.

Ustadz Rahmat muda mulai merintis kariernya sebagai guru selulus dari Asy Syafiiyah. Selain di almamaternya, ia juga mengajar di sekolah dasar Islam lainnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Perjalanan karier yang dipilihnya itu kemudian mempertemukannya dengan guru keduanya, Ustadz Bakir Said Abduh yang mengelola Rumah Pendidikan Islam (RPI). Melalui ustadz lulusan pergururan tinggi di Mesir itu, Ustadz Rahmat banyak membaca buku-buku karya ulama Ikhwanul Muslimin, salah satunya adalah buku Da’watuna (Hasan Al-Bana) yang kemudian ia terjemahankan menjadi Dakwah Kami Kemarin dan Hari Ini (Pustaka Amanah).

Situasi ini, membuat potensi bakat Ustadz Rahmat Abdullah melejit dengan banyaknya referensi bacaan yang ia konsumsi, mulai dari kitab Arab klasik yang sudah sulit dicari, sampai buku-buku sastra dan budaya. Ia pun dikenal sebagai dai yang lengkap, karena tidak cuma menguasai ilmu-ilmu Islam yang “standard” tetapi juga persoalan-persoalan kontemporer.

Potret paripurna kedaian Ustadz Rahmat terlihat ketika ia membina para pemuda di lingkungan rumahnya di kawasan Kuningan. Ustadz Rahmat menggunakan pendekatan yang masih sangat langka di kalangan dai, yaitu dengan grup teater yang didirikannya. Para pemuda itu diasuhnya dalam organisasi bernama Pemuda Raudhatul Falah (PARAF) yang menghidupkan masjid Raudhatul Falah di bilangan Kuningan dengan kegiatan-kegiatan keislaman.

Pementasan grup teater binaan Ustadz Rahmat muda itu mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Salah satunya adalah pementasan berjudul Perang Yarmuk. Pada pementasan inilah, Ustadz Rahmat dan para pemuda PARAF harus berhadapan dengan aparat yang mencoba membubarkan pementasan.

Akibat pementasan itu, Ustadz Rahmat dikenai wajib lapor. Tapi, hingga hari ini, Ustadz Rahmat tidak pernah mau meladeni aturan yang menindas kebebasan itu.
“Saya tidak akan pernah datang ke kantor kalian,” kata Ustadz Rahmat kepada Suryo, seorang aparat yang bertugas menyatroninya. “Kalau ibu saya yang memanggil, baru saya mau datang.”

Keteguhan pada prinsip dan ketegasan sikapnya itulah yang membuat Suryo ngeper. Hingga bertahun kemudian keteguhan dan ketegasan itu tetap terpelihara dengan baik, meski Almarhum harus terlibat dalam wasilah (sarana) dakwah bernama partai. Ia tetap dikenal sebagai guru ngaji, inspirator kaum muda yang progresif dan berpikiran jauh ke depan. Undangan daurah satu ke daurah yang lain tetap disambanginya. Tak ada yang berubah, termasuk ciri khas yang menjadi warisan dari kedua orang tuanya yang mulia: kesederhanaan.

Ustadz Rahmat memang berada di jenjang tertinggi partai, serta terpilih pula sebagai wakil rakyat di DPR pusat. Namun, ia kerap dipergoki sedang menyetop bus kota untuk mendatangi sebuah undangan. Ia kerap terlihat jalan kaki untuk jarak yang cukup jauh. Tak ada yang berubah, karena ia sadar betul bahwa langkah itulah yang dimulainya dulu sebagai permulaan di jalan dakwah.
Hingga akhirnya, di sebuah hari yang sibuk dan berat, Ustadz Rahmat merasakah tanda-tanda kesehatannya terganggu. Namun, rasa tanggung jawabnya yang besar terhadap amanah dakwah, membuat ia tak begitu mempedulikan tanda-tanda itu.

Ia masih terlibat dalam sebuah syuro penting. Lalu, saat adzan berkumandang dan ia beranjak untuk memenuhi panggilan suci itu, ia berjalan ke tempat wudhu. Saat berwudhu, tanda-tanda itu makin kuat, menelikung pembuluh darah di bagian lehernya. Ia coba untuk menyempurnakan wudhunya, tapi rasa sakit yang merejam-rejam kepalanya membuatnya limbung.

Disaksikan oleh Ustadz Mahfudzi, salah seorang muridnya, Ustadz Rahmat nyaris terjatuh. Ustadz Mahfudzi cepat memapahnya, lalu mencoba menyelamatkan situasi. Tetapi Allah lebih sayang kepada Ustadz Rahmat Abdullah. Innalillahi wa innailaihi raaji’uun…Syaikhut Tarbiyah itu meninggalkan kita dengan senyum yang amat tulus…hujan air mata dari seluruh pelosok tempat mengiringi kepulangan beliau.

Ada Pesan yang bisa kita ambil dari film ini. 
1. Allah memberikan ganjaran yang sebesar besarnya dan ganjaran yang setinggi tingginya bagi sabar dan lulus ujian di jalan dakwah. Jika ujian dan cobaan yang diberikan Allah mudah mudah saja tentu kita tidak akan memperoleh ganjaran yang hebat.  Disitulah letak hikmahnya yakni bagi seorang da’i harus sungguh sungguh dan sabar dalam meniti jalan dakwah ini. Perjuangan ini tidak bisa dijalani dengan ketidak sungguhan azam yang lemah dan pengorbanan yang tidak sedikit.

3. Diantara sekian jenis kemiskinan yang paling memperihatinkan adalah kemiskinan azam dan tekad bukan kemiskinan harta. Kemisikinan azam akan membawa kebangkrutan dari sisi harta. Azam dan kemauan yang kuat kelak akan membuat kita berilmu dan kaya. Tidak mungkin sesorang bisa keluar dari kejahiliyahan dan memperoleh derajat tinggi di sisi Allah tanpa tekad, kemauan dan kerja keras.

4. Berapa banyak orang menguasai ilmu serta dikenal sebagai ilmuan , ulama atau da’i namun kehilangan potensi hati nurani mereka yang hanya mengejar dunia, yang memiskinkan rakyat dan menguras kekayaan bangsa untuk kepentingan sendiri adalah anjing yang tercebur di telaga bening karena kebodohannya menerkam bayangannya sendiri.

5. Kematian hati, banyak orang tertawa sedangkan maut mengintainya banyak orang yang cepat datang ke shaf shalat namun cepat juga dia pergi. Dingin tanpa penghayatan banyak orang yang sedikit beramal namun disebutnya banyak sekali. Merendahlah engkau kan seperti bintang gemintang. Berkilau dipandang orang di seriak air dan sang bintang pun jauh tinggi jangan lah seperti asap yang mengangkat diri di langit padahal dirinya rendah hina.

Minggu, 16 November 2014

10 MUWASHOFAT (KEPRIBADIAN) MUSLIM Hasan Al-Banna

Al-Qur'an dan Sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah saw yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan peribadi muslim. Peribadi muslim yang dikehendaki oleh Al-Qur'an dan sunnah adalah pribadi yang shaleh, peribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah Swt.

Hasan Al Banna merumuskan 10 karakteristik muslim yang dibentuk didalam madrasah tarbawi Ikhwanul Muslimin. Karakteristik ini seharusnya yang menjadi ciri khas dalam diri seseorang yang mengaku sebagai muslim, yang dapat menjadi furqon (pembeda) yang merupakan sifat-sifat khususnya (muwashofat).