
Akhir-akhir ini kita melihat sebuah fenomena yang memprihatinkan. Khususnya
di wilayah Yogyakarta yang akrab dengan julukan “kota pelajar”. Aksi klitih
kembali mencuat, kali ini salah satu bentuk kenakalan remaja ini terlihat lebih
beringas hal ini terlihat dari efek yang dtimbulkan, mereka (pelaku) kini tidak cukup hanya melukai tapi lebih segan lagi mereka tega untuk menghabisi nyawa
korbannya.
Sebenarnya fenomena klitih ini
bukanlah suatu hal baru, bahkan sejak saya masih SMK saya pun saya pernah
terjebak terlibat didalamnya tapi Alhamdulillah bisa dikatan belum terlibat terlalu dalam. Katanya, Mereka
memperjuangkan “Marwah, harkat dan martabat” sekolahan, itulah yang menjadi
motif utama para pelaku untuk melakukan tindakan sadisnya. Awalnya anak-anak
baru yang masih menginjak kelas satu dicekoki semacam sugesti-sugesti nyleneh
tentang wajibnya menjaga harga diri sekolah yang kemudian untuk menjaga harga diri
itu salah satu jalan yang ditempuh adalah menyingkirkan saingan sekolah yang
mereka anggap sebagai musuh, pemicunya juga bisa dari dendam lama yang anehnya gak sembuh-sembuh atau karena masalah sepele seperti tanding futsal rusuh, vandalisme saling coret dsb. Dimana
penggiringan opini dan penyuapan doktrin ini dilakukan oleh beberapa oknum kakak kelas yang biasanya
tergabung dalam sebuah paguyuban genk sekolah. walaupun tidak bisa kita pungkiri bahwasannya degradasi moral dan semakin jauhnya anak-anak muda dari agama menjadi salah satu faktor pemicu utamanya. Atas faktor-faktor pemicu tadi lalu ujungnya, mereka hanya ingin Sekedar untuk
menunjukkan kejumawaan yang caranya salah kaprah, khas pemuda "pokoke maju, akibate dipikir keri".
Saya coba memaparkan beberapa genk
sekolah yang menurut saya sebenarnya ulah segelintir oknum inilah yang
meresahkan. Kita mulai dari sisi utara, ada Muhi dengan Oestad nya. SMK N 2 &
3 Yk dengan Stemsa dan Vozter, lalu juga ada REM. Bergeser ke selatan ada GNB ,
CBZ, Roever, Ranger, Smuten, Respect, Grixer. Belum lagi di wilayah bantul dan
sleman. Yang intinya hampir sebagian besar masing-masing sekolahan memiliki
paguyuban ini yang menurut mereka sebagai representasi kekuatan sekolah-sekolah
tersebut. Tak jarang mereka jjuga berkoalisi untuk saling bantu menghabisi
sekolah yang menjadi musuh / sasaran. Klitih ini menganut sebuah sitem “nglimpe”,
yaitu mereka menyerang musuh dari belakang ketika dijalan. Karena klitih bias juga
diartikan “golek-golek” (mencari cari) target sasaran / musuh.
Sekarang coba kitaa balik ke
belakang, bernostalgia ria. Yogyakarta adalah bagian dari Kerajaan Mataram.
Saya mencoba menggali informasi dari gurunda Yusuf Maulana, tentang
karakteristik lelaki mataram. Ternyata sangat mengejutkan, sekarang kita
mungkin mengenal bahwa lelaki jogja itu jika dibandingkan dengan lelaki jawa
lainnya identik dengan karakter sopan
santun, unggah-ungguh yang baik, tutur katanya lembut, lemah gemulai dan terkesan
low profile. Namun ternyata ada sebuah pergeseran identitas, ternyata karakter lelaki
mataram yang asli adalah lelaki yang bersifat tegas, kuat, dan keras. Buktinya bisa kita
lihat dalam laga perang jawa. Antara milisi pro Pangeran Diponegoro (pribumi) yang
sebagain besar adalah rakyat mataram dengan belanda yang berlangsung antara 1825-1830.
Pasukan belanda yang dikomandoi oleh jendral De Kock dan pasukan Pribumi yang
dikomandoi oleh Pangeran Diponegoro saling serang satu sama lain. Dengan senjata yang bisa dipastikan
kalah canggih, namun dalam perang ini kubu pribumi jawa mampu menumbangkan korban dari Belanda kurang
lebih 10.000 tentara. Alhasil Atas capaian luar biasa tersebut Perang Jawa juga
dinobatkan sebagai great war dan diakui oleh belanda sebagai perlawanan yang luar
biasa tangguh. Tentunya dengan hasil tersebut, dapat kita pastikan bahwa lelaki mataram
yang ikut berjihad di perang itu adalah tipikal lelaki yang tangguh, kuat, keras dan
“turah energi”bukan lelaki yang lemah lembut.
Seiring berjalannya waktu, raja-raja
mataram menerapkanrakyat harus berbahasa karma inggil / karma halus,
kebiasaan-kebiasaan yang menunjukan karakter tegas mulai dihilangkas. Seperti adu
kekuatan “ala gladiator” bagi laki-laki mataram di wilayah kerajaan, Alhasil
ada pergeseran identitas yang terpaksa “harus” diikuti yang nantinya ini berimplikasi pada kebingungan mereka untuk menyalurkan energy yang berlebih tadi dari karaker khas lelaki mataram. karena ya memang seperti itu karakter aslinya.
Akhirnya Saya menyimpulkan dari perspektif
saya ditambah pengetahuan dari gurunda dan tinjauan antropologi bahwa memang
tipikal asli dari lelaki mataram ini adalah turah energy (punya energy berlebih)
namun terjerat dan binggung menyalurkan energy yang sisa tadi. Maka terjadilah
kekerasan-kekerasan di lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat
ternyaman, aman dan penuh kasih sayang dalam mengembangkan diri dan belajar.
Maka sudaah seyogyanya diperlukan solusi-solusi yang bisa meredam energy berlebih
ini dari berbagai pihak mulai dari pemerintah yang mungkin bisa berkontribusi
dengan kebijakan-kebijakan semisal tentang tata letak kota yang mengusulkan
agar disetiap sudut-sudut kota diperbanyak ruang-ruang untuk pemuda menyalurkan
kegiatan positifnya. Sayangnya ini masih belum diperhatikan secara baik. Jadi
mungkin masjid bisa dijadikan alternative. Membuat masjid sebagai pusat
kegiatan pemuda, melengkapinya dengan fasilitas-fasilitas yang menunjang agar
pemuda betah berkegiatan di masjid. Selain itu peran Dari lingkungan sekolah
melalui pembinaan dan program ekstrakulikuler yang bisa menjadi sarana
penyaluran energy turah tadi, masyarakat, dan utamanya keluarga, dimana disinilah
sesungguhnya kenyamanan itu berada, tempat kembali dan bercerita segala keluh
kesah.
Semoga Jogja kembali nyaman, aman,
titi tentrem untuk belajar dan mengembangkan diri. Sesuai dengan jargon nya “Yogyakarta
berhati nyaman”, “Yogyakarta Kota Pelajar".
-Wijang ( Yang dulu sempat terjebak namun kini sudah bertaubat )