Jumat, 31 Maret 2017

"Klitih dan Lelaki Mataram" : Sebuah Tinjauan dari Perspektif Antropologi













Akhir-akhir ini kita melihat sebuah fenomena yang memprihatinkan. Khususnya di wilayah Yogyakarta yang akrab dengan julukan “kota pelajar”. Aksi klitih kembali mencuat, kali ini salah satu bentuk kenakalan remaja ini terlihat lebih beringas hal ini terlihat dari efek yang dtimbulkan, mereka (pelaku) kini tidak cukup hanya melukai tapi lebih segan lagi mereka tega untuk menghabisi nyawa korbannya.

Sebenarnya fenomena klitih ini bukanlah suatu hal baru, bahkan sejak saya masih SMK saya pun saya pernah terjebak terlibat didalamnya tapi Alhamdulillah bisa dikatan belum terlibat terlalu dalam. Katanya, Mereka memperjuangkan “Marwah, harkat dan martabat” sekolahan, itulah yang menjadi motif utama para pelaku untuk melakukan tindakan sadisnya. Awalnya anak-anak baru yang masih menginjak kelas satu dicekoki semacam sugesti-sugesti nyleneh tentang wajibnya menjaga harga diri sekolah yang kemudian untuk menjaga harga diri itu salah satu jalan yang ditempuh adalah menyingkirkan saingan sekolah yang mereka anggap sebagai musuh, pemicunya juga bisa dari dendam lama yang anehnya gak sembuh-sembuh atau karena masalah sepele seperti tanding futsal rusuh, vandalisme saling coret dsb. Dimana penggiringan opini dan penyuapan doktrin ini dilakukan oleh beberapa oknum kakak kelas yang biasanya tergabung dalam sebuah paguyuban genk sekolah. walaupun tidak bisa kita pungkiri bahwasannya degradasi moral dan semakin jauhnya anak-anak muda dari agama menjadi salah satu faktor pemicu utamanya. Atas faktor-faktor pemicu tadi lalu ujungnya, mereka hanya ingin Sekedar untuk menunjukkan kejumawaan yang caranya salah kaprah, khas pemuda "pokoke maju, akibate dipikir keri".

Saya coba memaparkan beberapa genk sekolah yang menurut saya sebenarnya ulah segelintir oknum inilah yang meresahkan. Kita mulai dari sisi utara, ada Muhi dengan Oestad nya. SMK N 2 & 3 Yk dengan Stemsa dan Vozter, lalu juga ada REM. Bergeser ke selatan ada GNB , CBZ, Roever, Ranger, Smuten, Respect, Grixer. Belum lagi di wilayah bantul dan sleman. Yang intinya hampir sebagian besar masing-masing sekolahan memiliki paguyuban ini yang menurut mereka sebagai representasi kekuatan sekolah-sekolah tersebut. Tak jarang mereka jjuga berkoalisi untuk saling bantu menghabisi sekolah yang menjadi musuh / sasaran. Klitih ini menganut sebuah sitem “nglimpe”, yaitu mereka menyerang musuh dari belakang ketika dijalan. Karena klitih bias juga diartikan “golek-golek” (mencari cari) target sasaran / musuh.

Sekarang coba kitaa balik ke belakang, bernostalgia ria. Yogyakarta adalah bagian dari Kerajaan Mataram. Saya mencoba menggali informasi dari gurunda Yusuf Maulana, tentang karakteristik lelaki mataram. Ternyata sangat mengejutkan, sekarang kita mungkin mengenal bahwa lelaki jogja itu jika dibandingkan dengan lelaki jawa lainnya identik  dengan karakter sopan santun, unggah-ungguh yang baik, tutur katanya lembut, lemah gemulai dan terkesan low profile. Namun ternyata ada sebuah pergeseran identitas, ternyata karakter  lelaki mataram yang asli adalah lelaki yang bersifat tegas, kuat, dan keras. Buktinya bisa kita lihat dalam laga perang jawa. Antara milisi pro Pangeran Diponegoro (pribumi) yang sebagain besar adalah rakyat mataram dengan belanda yang berlangsung antara 1825-1830. Pasukan belanda yang dikomandoi oleh jendral De Kock dan pasukan Pribumi yang dikomandoi oleh Pangeran Diponegoro saling serang satu sama lain. Dengan senjata yang bisa dipastikan kalah canggih, namun dalam perang ini kubu pribumi jawa mampu menumbangkan korban dari Belanda kurang lebih 10.000 tentara. Alhasil Atas capaian luar biasa tersebut Perang Jawa juga dinobatkan sebagai great war dan diakui oleh belanda sebagai perlawanan yang luar biasa tangguh. Tentunya dengan hasil tersebut, dapat kita pastikan bahwa lelaki mataram yang ikut berjihad di perang itu adalah tipikal lelaki yang tangguh, kuat, keras dan “turah energi”bukan lelaki yang lemah lembut.

Seiring berjalannya waktu, raja-raja mataram menerapkanrakyat harus berbahasa karma inggil / karma halus, kebiasaan-kebiasaan yang menunjukan karakter tegas mulai dihilangkas. Seperti adu kekuatan “ala gladiator” bagi laki-laki mataram di wilayah kerajaan, Alhasil ada pergeseran identitas yang terpaksa “harus” diikuti yang nantinya ini berimplikasi pada kebingungan mereka untuk menyalurkan energy yang berlebih tadi dari karaker khas lelaki mataram. karena ya memang seperti itu karakter aslinya.

Akhirnya Saya menyimpulkan dari perspektif saya ditambah pengetahuan dari gurunda dan tinjauan antropologi bahwa memang tipikal asli dari lelaki mataram ini adalah turah energy (punya energy berlebih) namun terjerat dan binggung menyalurkan energy yang sisa tadi. Maka terjadilah kekerasan-kekerasan di lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, aman dan penuh kasih sayang dalam mengembangkan diri dan belajar. Maka sudaah seyogyanya diperlukan solusi-solusi yang bisa meredam energy berlebih ini dari berbagai pihak mulai dari pemerintah yang mungkin bisa berkontribusi dengan kebijakan-kebijakan semisal tentang tata letak kota yang mengusulkan agar disetiap sudut-sudut kota diperbanyak ruang-ruang untuk pemuda menyalurkan kegiatan positifnya. Sayangnya ini masih belum diperhatikan secara baik. Jadi mungkin masjid bisa dijadikan alternative. Membuat masjid sebagai pusat kegiatan pemuda, melengkapinya dengan fasilitas-fasilitas yang menunjang agar pemuda betah berkegiatan di masjid. Selain itu peran Dari lingkungan sekolah melalui pembinaan dan program ekstrakulikuler yang bisa menjadi sarana penyaluran energy turah tadi, masyarakat, dan utamanya keluarga, dimana disinilah sesungguhnya kenyamanan itu berada, tempat kembali dan bercerita segala keluh kesah.

Semoga Jogja kembali nyaman, aman, titi tentrem untuk belajar dan mengembangkan diri. Sesuai dengan jargon nya “Yogyakarta berhati nyaman”, “Yogyakarta Kota Pelajar". 

-Wijang ( Yang dulu sempat terjebak namun kini sudah bertaubat )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar