Senin, 17 April 2017

Indonesia, China dan Islamisasi Nusantara : Merefleksikan Sejarah dan Perlawanan Terhadap Rasisme

 Beberapa hari yang terakhir ini kita dibuat prihatin oleh beberapa kejadian rasisme. Mulai dari iklan kampanye, sampai penyebutan kata yang sangat tidak pantas oleh salah satu sesorang dari etnis tertentu terhadap seorang Gubernur NTB. Jika dikerucutkan, rasisme yang akhir-akhir ini marak menjadi perbincangan publik adalah antara islam dan china.

Bagaimanapun dengan alasan apapun, rasisme adalah sebuah hal yang tidak dibenarkan. Karena implikasinya yang  mengancam perpecahan yang mudhorotnya tentu sangat besar bagi kehidupan kita. Dalam perspektif Al-Quran, Allah sebenarnya sudah menjabarkan larangan rasis dalam surat Al-Hujurat ayat 13. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa hakikat Allah yang menciptakan manusia yang berbangsa dan bersuku suku, dimana tujuannya adalah agar mereka saling “mengenal”. Yaitu menghargai perbedaan, tidak saling menghina dan mengejek dalam hal ini bisa dikategorikan sebagi rasis.

Sebagai umat islam yang tinggal di nusantara, tentunya kita patut bersyukur bahwa indonesia adalah salah satu negara yang disentuh dan mendapatkan cahaya islam. Tak ada salahnya pula kita merefleksi, mundur kebelakang untuk mengetahui wasilahnya islam sampai di nusantara. Tentunya ada peran-peran orang terdahulu, tak terkecuali salah satunya etnis muslim china.

Riwayat cina zaman dinasti T’ang mengatakan bahwa waktu itu, tepatnya pada tahun 671 M sudah ada komunitas muslim di wilayah sumatra.  Diperkuat lagi ketika Dinasti Ming mengirimkan armada lautnya yang bertujuan untuk mengamankan jalur lalu lintas china-india yang dipimpin oleh laksamana Cheng-Ho alias Zheng He alias H. Mahmud Syamsudin pada periode tahun 1405-1433, dimana ketika mereka singgah di nusantara mereka menemukan banyak komunitas muslim china tepatnya di bagian utara pesisir jawa.

Lalu bagaimana proses islamsisasi oleh para muslim etnis china di nusantara ? Fakta yang dikemukan oleh Tanta zen, seorang sejarwan dari singapura, Bahwa dahulu sekitar abad ke 13 masehi china jatuh ke tangan Mongol “Tar-Tar” dibawah pimpinan raja Kubilai khan. Setelah berhasil menaklukan china, Kubilai khan kemudian mulai mengekspansi nusantara, tepatnya sasarnnya waktu itu adalah kerajan Singosari. Dia mengirimkan utusannya ke Singosari untuk memberikan kabar kepada Raja Kertanegara agar mau tunduk dan mengirimkan upeti setiap tahunnya kepadanya. Namun Kertanegara menolaknya, bahkan memotong telinga utusan Kubilaikhan dan memintanya agar pulang kembali. Hal ini mebuat marah kubilaikhan karena dianggap sebagai penghinaan, yang kemudian direspon dengan pengiriman pasukan ke Singosari untuk menuntut balas sekaligus penyerangan. Tetapi pada saat pasukan telah tiba, Kertanegara sudah meninggal yang kemudian digantikan Jayakatwang (Kediri). Bertemulah pasukan tadi dengan orang-orangnya Raden Wijaya (Bakal Raja Majapahit) yang kemudian menyarankan mereka agar menuntut balas kepada Jayakatwang. Penyerangan pun terjadi, Jayakatwang dan Kediri runtuh yang kemudian disusul oleh berdirinya Majapahit.

Nah, pasukan Kubilai khan yang datang ke Nusantara komposisinya adalah dari orang Mongol, sebagian dari orang-orang China dan sebagian dari orang-orang bangsa Turkistan yang mayoritas muslim. Maka ketika perjalan itulah terjadi interaksi antar pasukan yang menyebabkan sebagian tentara yang berasal dari china mengenal islam kemudian menganutnya. Ketika mereka sudah selesai melaksanakan misi menyerang Jayakatwang, banyak diantara muslim china ini yang menolak untuk kembali ke negerinya. Mereka lebih nyaman tinggal di jawa.  Yang kemudian mereka mulai aktif melakukan islamisasi di nusantara, khusunya di pulau jawa, sesuai dengan fakta penemuan komunitas etnis china muslim di pesisir utara pantai jawa oleh laksamana Cheng-Ho pada abad ke 14.

Dari refleksi sejarah diatas dapat kita ambil hikmahnya, tentunya kita patut bersyukur bahwa sinergitas pribumi dan muslim dari etnis china membuat kita merasakan indahnya cahaya islam di negeri ini. Maka seperti QS Al-Hujurat ayat 13 tadi, bahwa Allah telah memerintahkan kita agar saling menjaga persatuan meski dalam balutan perbedaan. Tentunya persatuan dalam hal-hal kehidupan sosial atau muamalah dan saling menghargai dengan menjaga lisan, perbuatan, dan memahami batas-batas dalam syariat yang sudah ditentukan dalam keyakinan masing-masing agar tidak terjerumus dalam budaya Rasisme dan Pluralisme. 

Kecuali memang mereka yang bersembunyi dibalik jargon kebhinekaan namun diam-diam merongrong dan menyulut perpecahan, mereka yang tak bisa menjaga lisan dan perbuatan maupun mereka yang terang-terangan menebarkan kebencian (baca: ahok) 

Wallahualam bishowab.

-21 Rajab 1438 H / Wijang -


Tidak ada komentar:

Posting Komentar